Senin, 16 November 2015

Sinopsis


KUBAH
KARYA AHMAD TOHARI

Karman sangat canggung dan gamang. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Karman mengerti harga dirinya tidak semahal kertas yang dibawanya, dan tidak semahal ruangan di mana kini ia berada. Ia merasa asing, walaupun Karman sudah bebas, ia merasa ada pemisah antara dirinya dengan alam sekitarnya. Ia yakin itu, karena ia tahu bahwa dirinya adalah bekas tahanan politik. Nyatanya sejak 12 tahun lalu, Karman telah kehilangan diri dan pribadinya. Ia selalu merasa rendah diri. Di bawah pohon beringin di tengah alun-alun Karman istirahat.
            Ia membayangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika Karman masih sebagai tahanan. Parta menceraikan istrinya dan nikah dengan Marni, istri Karman. Pada waktu itu Marni meminta keikhlasan dan pengertian Karman agar diizinkan untuk menikah lagi dengan Parta. Karman hanya bisa termenung dan membagi kesusahnnya dengan teman-temannya sebarak. Tubuh dan jiwanya semakin layu. Ia tergeletak sakit. Ada seorang perwira, Kapten Somad, yang berusaha mengobati penyakit Karman. Uasha Kapten Somad itu pada akhirnya membawa hasil. Karman sembuh.
            Tahun 1948 terjadi makar tetapi berhasil digagalkan. Salah seorang dari kader partai ada yang melarikan diri ke Pegaten. Dia dikenal dengan nama Bung Margo. Di Pegaten dia dan teman-temannya berusaha menambah anggota baru. Salah satu yang diincar untuk dijadikan anggota baru ialah Karman. Dengan berbagai cara, akhirnya Karman berhasil dijebak dan menjadi anggota Partai Komunis.
Bung Margo selalu berusaha menciptakan permusuhan antara Karman dengan Haji Bakir. Ia berusaha menjauhkan kehidupan Karman dari Haji Bakir. Semakin hari rasa curiga dan permusuhan di hati Karman terhadap Haji Bakir semakin bertambah. Apalagi sejak cintanya kepada Rifah ditolak oleh Haji Bakir. Perasaan curiga, benci, dan permusuhan semakin mengembang di hati Karman karena memang Karman sendirilah yang mengembangkan. Karman sempat beradu mulut dengan Hasyim, pamannya sendiri. Karena Karman sudah terpengaruh oleh hasutan Margo dan Triman. Karman juga sudah melenceng jauh dari agama termasuk agama Islam. “Hai, Karman! Hanya untuk menjadikan dirimu seperti inikah aku bersusah payah menyekolahkanmu?”
“Aku sudah dewasa, Paman. Benar, aku mengaku telah Paman beri biaya. Kalau Paman menghendaki segala biaya itu kembali, pasti akan kubayar.”
“Laknat...!” Hasyim bangkit. Badannya menggigil menahan amarah. Keringat di dahi dan di telapak tangannya. Mata dan seluruh wajahnya merah. “Misalkan aku masih menjadi Laskar Hisbullah. Misalkan masih ada bedil di tanganku, sebutir peluru cukup untuk menutup mulut anak durhaka ini.”
Otak Hasyim telah mengirim perintah ke otot tangan. Tetapi batal pada saat terakhir. Saat ketika Hasyim teringat: berwasiatlah dalam kebenaran dan kesabaran.  
Memang sudah banyak yang orang ditangkap. Bung Margo dan orang lainnya sudah dipaksa masuk ke liang kubur. Hanya yang membuat Marni merasa bersyukur ialah perubahan suaminya. Karman sholat, sesuatu yang telah lama diidamkannya. Setiap detak jantung Karman adalah kegelisahan. Kalau malam tiba, Karman bersembunyi di masjid atau di rumah ibunya. Pada suatu saat Karman berpamitan kepada istrinya. Ia pasrahkan anak-anaknya kepada istrinya. Karman melarikan diri dan meninggalkan rumah, anak, istri, sekaligus desanya. Polisi dan tentara melakukan pengejaran terhadapnya. Namun, akhirnya Karman tertangkap juga.
Pada saat sudah kembali ke desanya Pegaten, Karman khawatir kalau tidak diterima oleh masyarakat setempat. Namun, masyarakat malah menyambut dengan sangat antusias karena warga dari desanya sudah kembali dengan selamat.
Sekarang, Karman sudah berbaur kembali dengan warga desa Pegaten. Suatu hari, Haji Bakir datang melamarkan cucunya yang bernama Jabir kepada Tini anak Karman. Pada saat Haji Bakir menyampaikan lamarannya, Haji Bakir juga memberikan sawahnya satu setengah hektar kepada Tini. Memang, sawah tersebut dahulu adalah milik kakek Tini.
Pada suatu saat, masjid Haji Bakir yang telah tua itu diperbaiki kembali. Karman mendapatkan kesempatan membuat kubah masjid tersebut. Ia tidak mengambil upah sedikitpun dari pekerjaan itu. Ia hanya ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat yang telah sirna itu. Karman ingin merasa memperoleh martabatnya sebagai manusia. Dengan kubah itu, Karman merasa memperoleh apa yang diharapkannya. Selain itu, Karman ingin merintis jalan untuk mendekatkan diri kepada kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar